Definisi Iman dan Islam
Islam
dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada
Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyariatkan-Nya
sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus
hingga hari kiamat.
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh as berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa as, yang dibawa oleh Isa as dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim as, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syariat-syariat terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad saw adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menghapun (menasakh) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa as, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa as. Namun, ketika telah diutus Nabi Muhammad saw kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan lagi menjadi orang muslim.
Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana dienul Islam, bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Taala berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali-Imran: 19)
"Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya." (Ali-Imran: 85)
Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad saw dan umatnya. Allah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridoi Islam itu jadi agamamu." (Al-Maidah: 3)
Ini adalah dalil (nash) yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara seiman, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka. Agama mereka tidak sama dengan seperti pendahulu mereka yang masih lurus dengan ikhlas mengikuti rasulnya. Ajaran agama mereka telah diselewengkan dengan ajaran dan sejarah yang dibuat oleh orang-orang yang ingkar terhadap rasulnya. Mereka ingkar terhadap kedatangan rasul yang akhir, Muhammad saw, sebagai pembawa risalah yang terakhir dan yang sempurna dari Allah SWT.
Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Taala dengan menjalankan syariat-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zahir maupun batin. Ia mencakup seluruh aspek: akidah, amalan, maupun perkataan. Namun, jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Adapun Iman adalah amalan batiniah yang berupa akidah dan amalan-amalan hati.
Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Taala sebagai berikut.
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Al-Hujurat: 14)
Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Taala berfirman,
"Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri." (Adz-Dzariyat: 35-36)
Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadis Umar bin Khattab ra bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai Islam dan iman. Beliau menjawab, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah." Mengenai iman, beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk."
Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun, jika istilah Islam itu disandingkan dengan iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa itikad (i'tiqad) dan amalan hati.
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang? Jawab: Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.
Jadi, Iman itu mencakup tiga hal:
Ikrar dengan hati.
Pengucapan dengan lisan.
Pengamalan dengan anggota badan.
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab : 'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat didalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31)
"Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya:
Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya daripada yang lain.
Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21).
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah, banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir, umpamanya, akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
-Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
-Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
-Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits)
-Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimanannya dari sisi yang satu ini.
Tak diragukan lagi, bahwa siapapun ingin hidup bahagia. Masing-masing dalam hidup ini mendambakan ketenangan, kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan. Namun, di manakah sebenarnya dapat kita peroleh hal itu semua?
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam, hanya iman yang disertai dengan amal shaleh yang dapat menghantarkan kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, ke arah itu.
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki-laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl : 97).
Dengan iman, umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan, berhasil merubah keadaan duni dari kegelapan menjadi terang benderang. Dengan iman, masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Para umara' melaksanakan perintah Allah, para ulama beramar ma'ruf dan nahi mungkar, dan rakyat saling tolong-menolong atas kebajikan dan kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi, tiada yang mengikat antar mereka selain tali persaudaraan iman.
Namun, setelah redup cahaya iman di hati kita, lenyaplah nilai-nilai kebaikan diantara kita. Masyarakat kita pun menjadi masyarakat yang penuh dengan kebohongan, kesombongan, kekerasan, individualisme, keserakahan, kerusakan moral , dan kemungkaran.
"Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, sehingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri?.." (Al-Anfal : 53).
Maka, apabila kita ingin mencapai apa yang telah dicapai para salaf (generasi pendahulu), apabila kita ingin mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada para hambaNya yang beriman, maka hendaklah kita memperbaharui iman dan melaksanakan apa yang menjadi konsekwensinya.
Dengan memohon ma'unah Allah, makalah singkat ini mencoba menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan topik tersebut di atas.
2. PENGERTIAN IMAN :
Iman, secara etimologis, berasal dari kata aamana - yu'minu, berarti tasdiq, yaitu : membenarkan, mempercayai. Dan menurut istilah, Iman ialah : "Membenarkan dengan hati , diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan."
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan : "Qaulun wa amalun, wa niyyatun, wa tamassukun bis Sunnah." Yakni : Ucapan diiringi dengan ketulusan niat (lillah) dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah (Rasulullah SAW).
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu , beliau menjawab demikian : "Qaulun, wa amalun, wa niyyatun, wa sunnatun." Artinya : Ucapan, yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah. Kata beliau selanjutnya : "Sebab, iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur, apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat (lillah) adalah nifaq, sedang apabila hanya ucapan, perbuatan dan ketulusan niat, tanpa dilandasi dengan sunnah (Rasulullah SAW) adalah bid'ah. (Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah, jilid 7, hal. 171)
Dengan demikian, iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan : "Iman itu bukanlah sekedar angan-angan, dan bukan pula sekedar basa-basi dengan ucapan, akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. (Ahmad Izzuddin Al-Bayanuni. Al-Iman : Khashaa'ishuhu, Alaamaatuhu, Tsamaraatuhu, Cet. 2 (1405 h), bagian 1, hal. 18).
3. POSISI DAN KEDUDUKAN IMAN DALAM DIENUL ISLAM :
Iman, dalam Dienul Islam, menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman, tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur'an Surah An-Nisa' : 124 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."
Juga dalam Qur'an Surah Al-Isra' : 19 yang artinya :
"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik."
Disebutkan dalam hadits dari Al-Bara' ibn 'Azib, Radhiyallahu 'Anhu, bahwa ada seorang kafir datang dengan bertopeng sambil membawa sepotong besi, kemudian memohon kepada Rasulullah SAW, agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin untuk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya : "Masuklah Islam, kemudian pergilah berperang!" Lalu iapun masuk Islam dan ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda : "Dia beramal sedikit tetapi dibalas dengan pahala yang banyak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Disebutkannya iman dalam Al-Qur'an lebih dari 840 kali1, tiada lain menunjukkan posisi dan kedudukannya dalam Islam menurut Allah SWT.
4. KORELASI ANTARA IMAN DAN ISLAM :
Iman dan Islam adalah dua sejoli yang tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya ibarat dua sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam, dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi, dengan demikian, bukan berarti Islam itu adalah Iman dan Iman adalah Islam.
Iman, apabila disebutkan bersama-sama dengan Islam, maka menunjukkan kepada hal-hal batiniah; seperti: Iman kepada Allah SWT, iman kepada Malaikat, iman kepada hari akhir, dan seterusnya. Dan Islam, apabila disebutkan bersama-sama dengan Iman, maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriah; seperti: Syahadat, shalat, puasa, dan seterusnya. Dasarnya: Al-Hujurat : 14; Hadits Jibril, riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Namun, Iman apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Islam, maka mencakup pengertian Islam dan tidak terlepas darinya; karena iman, menurut definisinya, adalah: Keyakinan, ucapan dan perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Iman, maka mencakup pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam, pada hakekatnya, yaitu: Berserah diri, lahir dan batin, kepada Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dasarnya: Al-Anfal : 2 - 3, Al-Mu'minun : 1 - 9, dan Al-Imran : 19, 85.
5. KONSEKWENSI DAN CIRI-CIRI IMAN :
Segala pengakuan ada konsekwensinya dan mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan kebenarannya. Demikian pula iman. Adapun konsekwensi dan ciri-cirinya, antara lain:
Mempercayai segala yang datang dari Allah SWT, dengan yakin, tanpa ragu-ragu lagi. ( Al-Hujurat : 15).
Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari yang lain. (Al-Baqarah : 165, At-Taubah : 24).
Patuh dan tunduk kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. ( An-Nisa' : 69, 90, An-Nur : 51 - 52, Al-Ahzab : 36).
Senantiasa berhukum kepada syariat-Nya. (An-Nisa' : 65).
Amar Ma'ruf - Nahi Munkar. (At-Taubah : 71, Al-Ashr).
Berda'wah dan Jihad di jalan Allah SWT. (Fushshilat : 33, Yusuf : 108, Ash-Shaf : 10 - 13).
Walaa' kepada kaum Mu'minin dan Baraa' terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah : 55, At-Taubah : 71, Al-Mumtahanah : 4).
Ridha kepada segala takdir-Nya. (Al-Baqarah : 155 - 157).
Sumber: Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh as berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa as, yang dibawa oleh Isa as dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim as, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syariat-syariat terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad saw adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menghapun (menasakh) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa as, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa as. Namun, ketika telah diutus Nabi Muhammad saw kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan lagi menjadi orang muslim.
Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana dienul Islam, bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Taala berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali-Imran: 19)
"Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya." (Ali-Imran: 85)
Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad saw dan umatnya. Allah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridoi Islam itu jadi agamamu." (Al-Maidah: 3)
Ini adalah dalil (nash) yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara seiman, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka. Agama mereka tidak sama dengan seperti pendahulu mereka yang masih lurus dengan ikhlas mengikuti rasulnya. Ajaran agama mereka telah diselewengkan dengan ajaran dan sejarah yang dibuat oleh orang-orang yang ingkar terhadap rasulnya. Mereka ingkar terhadap kedatangan rasul yang akhir, Muhammad saw, sebagai pembawa risalah yang terakhir dan yang sempurna dari Allah SWT.
Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Taala dengan menjalankan syariat-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zahir maupun batin. Ia mencakup seluruh aspek: akidah, amalan, maupun perkataan. Namun, jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Adapun Iman adalah amalan batiniah yang berupa akidah dan amalan-amalan hati.
Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Taala sebagai berikut.
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Al-Hujurat: 14)
Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Taala berfirman,
"Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri." (Adz-Dzariyat: 35-36)
Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadis Umar bin Khattab ra bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai Islam dan iman. Beliau menjawab, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah." Mengenai iman, beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk."
Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun, jika istilah Islam itu disandingkan dengan iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa itikad (i'tiqad) dan amalan hati.
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang? Jawab: Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.
Jadi, Iman itu mencakup tiga hal:
Ikrar dengan hati.
Pengucapan dengan lisan.
Pengamalan dengan anggota badan.
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab : 'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat didalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31)
"Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya:
Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya daripada yang lain.
Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21).
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah, banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir, umpamanya, akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
-Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
-Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
-Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits)
-Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimanannya dari sisi yang satu ini.
Tak diragukan lagi, bahwa siapapun ingin hidup bahagia. Masing-masing dalam hidup ini mendambakan ketenangan, kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan. Namun, di manakah sebenarnya dapat kita peroleh hal itu semua?
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam, hanya iman yang disertai dengan amal shaleh yang dapat menghantarkan kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, ke arah itu.
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki-laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl : 97).
Dengan iman, umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan, berhasil merubah keadaan duni dari kegelapan menjadi terang benderang. Dengan iman, masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Para umara' melaksanakan perintah Allah, para ulama beramar ma'ruf dan nahi mungkar, dan rakyat saling tolong-menolong atas kebajikan dan kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi, tiada yang mengikat antar mereka selain tali persaudaraan iman.
Namun, setelah redup cahaya iman di hati kita, lenyaplah nilai-nilai kebaikan diantara kita. Masyarakat kita pun menjadi masyarakat yang penuh dengan kebohongan, kesombongan, kekerasan, individualisme, keserakahan, kerusakan moral , dan kemungkaran.
"Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, sehingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri?.." (Al-Anfal : 53).
Maka, apabila kita ingin mencapai apa yang telah dicapai para salaf (generasi pendahulu), apabila kita ingin mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada para hambaNya yang beriman, maka hendaklah kita memperbaharui iman dan melaksanakan apa yang menjadi konsekwensinya.
Dengan memohon ma'unah Allah, makalah singkat ini mencoba menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan topik tersebut di atas.
2. PENGERTIAN IMAN :
Iman, secara etimologis, berasal dari kata aamana - yu'minu, berarti tasdiq, yaitu : membenarkan, mempercayai. Dan menurut istilah, Iman ialah : "Membenarkan dengan hati , diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan."
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan : "Qaulun wa amalun, wa niyyatun, wa tamassukun bis Sunnah." Yakni : Ucapan diiringi dengan ketulusan niat (lillah) dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah (Rasulullah SAW).
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu , beliau menjawab demikian : "Qaulun, wa amalun, wa niyyatun, wa sunnatun." Artinya : Ucapan, yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah. Kata beliau selanjutnya : "Sebab, iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur, apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat (lillah) adalah nifaq, sedang apabila hanya ucapan, perbuatan dan ketulusan niat, tanpa dilandasi dengan sunnah (Rasulullah SAW) adalah bid'ah. (Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah, jilid 7, hal. 171)
Dengan demikian, iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan : "Iman itu bukanlah sekedar angan-angan, dan bukan pula sekedar basa-basi dengan ucapan, akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. (Ahmad Izzuddin Al-Bayanuni. Al-Iman : Khashaa'ishuhu, Alaamaatuhu, Tsamaraatuhu, Cet. 2 (1405 h), bagian 1, hal. 18).
3. POSISI DAN KEDUDUKAN IMAN DALAM DIENUL ISLAM :
Iman, dalam Dienul Islam, menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman, tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur'an Surah An-Nisa' : 124 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."
Juga dalam Qur'an Surah Al-Isra' : 19 yang artinya :
"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik."
Disebutkan dalam hadits dari Al-Bara' ibn 'Azib, Radhiyallahu 'Anhu, bahwa ada seorang kafir datang dengan bertopeng sambil membawa sepotong besi, kemudian memohon kepada Rasulullah SAW, agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin untuk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya : "Masuklah Islam, kemudian pergilah berperang!" Lalu iapun masuk Islam dan ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda : "Dia beramal sedikit tetapi dibalas dengan pahala yang banyak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Disebutkannya iman dalam Al-Qur'an lebih dari 840 kali1, tiada lain menunjukkan posisi dan kedudukannya dalam Islam menurut Allah SWT.
4. KORELASI ANTARA IMAN DAN ISLAM :
Iman dan Islam adalah dua sejoli yang tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya ibarat dua sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam, dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi, dengan demikian, bukan berarti Islam itu adalah Iman dan Iman adalah Islam.
Iman, apabila disebutkan bersama-sama dengan Islam, maka menunjukkan kepada hal-hal batiniah; seperti: Iman kepada Allah SWT, iman kepada Malaikat, iman kepada hari akhir, dan seterusnya. Dan Islam, apabila disebutkan bersama-sama dengan Iman, maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriah; seperti: Syahadat, shalat, puasa, dan seterusnya. Dasarnya: Al-Hujurat : 14; Hadits Jibril, riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Namun, Iman apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Islam, maka mencakup pengertian Islam dan tidak terlepas darinya; karena iman, menurut definisinya, adalah: Keyakinan, ucapan dan perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Iman, maka mencakup pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam, pada hakekatnya, yaitu: Berserah diri, lahir dan batin, kepada Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dasarnya: Al-Anfal : 2 - 3, Al-Mu'minun : 1 - 9, dan Al-Imran : 19, 85.
5. KONSEKWENSI DAN CIRI-CIRI IMAN :
Segala pengakuan ada konsekwensinya dan mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan kebenarannya. Demikian pula iman. Adapun konsekwensi dan ciri-cirinya, antara lain:
Mempercayai segala yang datang dari Allah SWT, dengan yakin, tanpa ragu-ragu lagi. ( Al-Hujurat : 15).
Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari yang lain. (Al-Baqarah : 165, At-Taubah : 24).
Patuh dan tunduk kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. ( An-Nisa' : 69, 90, An-Nur : 51 - 52, Al-Ahzab : 36).
Senantiasa berhukum kepada syariat-Nya. (An-Nisa' : 65).
Amar Ma'ruf - Nahi Munkar. (At-Taubah : 71, Al-Ashr).
Berda'wah dan Jihad di jalan Allah SWT. (Fushshilat : 33, Yusuf : 108, Ash-Shaf : 10 - 13).
Walaa' kepada kaum Mu'minin dan Baraa' terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah : 55, At-Taubah : 71, Al-Mumtahanah : 4).
Ridha kepada segala takdir-Nya. (Al-Baqarah : 155 - 157).
Sumber: Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
Komentar
Posting Komentar